Cherreads

Chapter 2 - bab 2 : Asap dan Tangisan

Desa Karsel—seharusnya menjadi titik awal yang damai. Namun yang Jainal dapati hanyalah puing, abu, dan bau besi terbakar yang menusuk hingga ke tulang.

Langkah kakinya bergema sunyi saat ia memasuki gerbang desa yang roboh. Papan nama 'Karsel' setengah tergantung, satu sisi hangus terbakar. Tak ada suara manusia. Hanya angin yang merayapi reruntuhan, membawa bisikan kematian.

> "Ini bukan hanya serangan... ini pembantaian," gumamnya pelan.

Bangunan runtuh. Peralatan rumah tangga berserakan. Darah mengering di tanah seperti noda hitam pada lukisan kelam. Namun tak ada jasad tersisa. Entah dikubur paksa, dibawa pergi, atau hancur jadi abu bersama rumah-rumah.

Mata Jainal mengamati sisa-sisa panas yang tertinggal di udara. Ia mengaktifkan topeng baja di balik jubah—sensor sihirnya berdenyut, membaca jejak energi.

> "Jejak pelepasan sihir buatan... bukan sihir alami. Ini kerjaan magitek militer."

Ia menelusuri sisa-sisa ledakan, menekuk lutut di dekat bekas kawah kecil. Di tepi kawah, ada mainan kayu patah—sebuah boneka kelinci.

Saat itulah, ia mendengar suara. Bukan ledakan. Bukan runtuhan. Tapi... isak tangis.

---

Tangisan lirih, nyaris tak terdengar jika bukan karena kesunyian yang mencekam. Jainal bergerak cepat, mengandalkan nalurinya. Ia menyibak papan-papan roboh, melewati reruntuhan dapur, dan menemukan sumber suara di balik tumpukan genteng—sebuah ruang bawah tanah.

Pintu perangkapnya setengah tertutup. Jainal mendorongnya pelan. Di dalam, gelap. Namun matanya yang terlatih menangkap sosok kecil yang meringkuk di pojok. Anak laki-laki—berumur sekitar tujuh tahun, tubuh kotor, mata membengkak.

Jainal tak bicara dulu. Ia hanya duduk perlahan di ambang pintu.

> "Aku datang bukan untuk menyakitimu," ucapnya dengan suara tenang. "Namaku Jainal."

Anak itu tak menjawab. Hanya mempererat pelukannya pada boneka kain yang tinggal separuh. Tapi ia tidak kabur. Tidak menjerit. Itu cukup sebagai awal.

Beberapa menit terlewati sebelum anak itu akhirnya bergumam, "...Ibu... dibakar..."

---

Jainal membawa anak itu keluar dari ruang bawah tanah. Ia membersihkan luka-luka kecilnya, memberikan air, dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan jubah bagian dalamnya yang bisa menghangatkan. Anak itu masih tak menyebut namanya. Tapi ia mulai berjalan berdampingan, meski dengan langkah goyah.

Malam menjelang. Di atas reruntuhan Desa Karsel, dua sosok duduk diam: satu remaja bertopeng dan satu anak korban perang.

> "Aku tidak bisa mengubah masa lalu," kata Jainal pelan. "Tapi aku bisa pastikan kau tetap hidup."

Di balik kabut malam, api kecil menyala. Bukan untuk memasak, tapi untuk menjadi cahaya di dunia yang mulai kehilangan harapan.

More Chapters