Keraguan yang sudah berkobar tidak bisa lagi dipadamkan. Malam itu, Ikmal tidak bisa tidur. Setiap kejanggalan, setiap cerita yang terlalu dramatis dari "Aldian", berputar-putar di kepalanya seperti kaset rusak.
Rasa sedihnya kini telah bercampur dengan amarah dan rasa penasaran yang membakar. Dia tidak akan lagi menjadi pion pasif dalam drama ini.
Dengan tangan yang mantap, ia mengambil ponselnya dan membuka percakapan dengan Aldian. Dia tidak akan menuduh, setidaknya belum. Dia akan menggunakan logika.
[Ikmal]:Al, gue tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat. Tapi gue rasa kita perlu ngobrol langsung. Biar sama-sama enak. Kita video call, ya? Sebentar aja. Gue cuma mau lihat wajah abangnya orang yang pernah gue sayang.
Pesan itu terkirim. Ikmal menahan napas, menunggu reaksi dari seberang.
Balasannya datang lebih cepat dari yang ia duga, dan nadanya dingin.
[Aldian]:Video call? Lo serius?
[Aldian]:Lo nggak sopan banget, Mal. Keluarga gue lagi berduka, dan lo malah mikirin video call? Lo sama sekali nggak punya empati, ya?
Kata-kata itu menghantam Ikmal seperti tamparan. Ia merasa bodoh dan tidak peka.
[Ikmal]:Bukan gitu maksud gue, Al. Gue cuma—
[Aldian]:Cuma apa? Cuma penasaran? Gue kira lo tulus sayang sama Kasa, ternyata lo cuma mau memuaskan rasa ingin tahu lo. Kasa cerita banyak ke gue soal lo, katanya lo orang baik dan pengertian. Gue kecewa.(Nooo...aniki kecewa jir)
Serangan balik itu berhasil. Ikmal terdiam, keraguannya goyah. Apakah dia yang salah di sini? Apakah kesedihannya membuatnya menjadi egois dan tidak berperasaan? Rasa bersalah mulai merayap, membungkam logika yang baru saja terbangun.
Dia menceritakan percakapan itu pada Maya keesokan harinya di kampus. Maya mendengarkan dengan saksama, matanya tidak lepas dari layar ponsel Ikmal.
"Dia yang muter balikin fakta," kata Maya setelah selesai membaca.
"Tapi mungkin dia benar, May. Mungkin aku yang keterlaluan," jawab Ikmal lemah.
Maya menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Nggak. Dengar, Mal. Orang yang benar-benar berduka nggak akan punya tenaga buat ngetik pesan sepanjang itu untuk bikin kamu merasa bersalah. Mereka akan mengabaikanmu, atau balas seadanya. Ini manipulatif."
Maya menunjuk layar ponsel.
"Dia sengaja bikin kamu merasa jadi orang jahat biar kamu berhenti bertanya. Sadar nggak?"
Kata-kata Maya seperti menyalakan kembali api yang hampir padam. Benar. Semua ini terasa seperti sebuah taktik pengalihan. Rasa bersalah yang tadi menyelimutinya kini berganti menjadi amarah yang dingin.
"Kalau memang benar," lanjut Maya, suaranya lebih lembut, "nggak akan serumit ini, Mal."
Ikmal menatap sahabatnya, lalu kembali menatap layar ponselnya. Kali ini, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada satu tujuan. Dia harus menemukan kebenaran, bukan dari "Aldian", tapi dari sumber lain. Sumber yang tidak bisa berbohong.