Akhirnya pagi datang, aku sudah di dalam sejak malam.
Pagi itu membawa cahaya seperti utang yang menagih janji.
Tapi jendela enggan terbuka,
Ia tahu: sinar hanya akan menyorot luka yang belum kering.
Kemarin dulu, jendela itu paling suka bercerita tentang angin, sekarang ia membisu, memaku reklame pada derita.
"Untuk apa melihat dunia," katanya,
"jika yang kutunggu tak pernah pulang menebus harapan?"
Ia menatap kosong ke luar,
namun lebih hampa ke dalam.
Lalu langkahku tertarik mundur ke arah dapur, berpura-pura sibuk agar benda-benda tak banyak bicara.
Mereka paham betul bagaimana suasana di sini,
Mereka menyaksikan betul bagaimana sebuah asbes dibiarkan terbengkalai, berharap digapai seseorang agar debu-debu dapat dijangkau.
Mereka menjadi saksi bisu beberapa waktu tanpa sapaan, yang dibuahi dari janji dan membentuk sebuah gumpalan; harapan.