Kalender itu menggigil di dinding,
sudah tiga lembar tak disentuh.
Tanggal-tanggalnya meringis, tergores penantian yang gagal ditebus.
Angkanya juga kian memudar perharinya.
Menjadikan semua harapan tak pernah ada kesempatan untuk berlibur.
Nama-nama harinya tak dipersilahkan menyentuh week end.
Menjadikan tiap celahnya bagai antre untuk membenturkan kepala pada tembok.
Tapi sang paku masih memeluk beton sekuat tenaga,
Meski ujung pakunya bengkok menahan malu, merenungi kalender yang isinya cuma harap yang penuh misteri.
"Kuberi kamu 30 kesempatan tiap bulan" katanya menggelegar,
"Tapi kau malah mengisinya dengan harap-harap yang diaborsi"
Kataku dalam hati, mungkin ia bosan jadi saksi tentang siapa yang bicara, dan tak pernah benar-benar ingin menepati.
Hari ini masih tak dicoret, seperti hari-hari sebelumnya, karena tak ada yang datang menerjemahkan.