Langit terus retak.
Dari balik celah-celah cahaya ilahi, tujuh sinar turun bersamaan, masing-masing membawa aura yang membuat napas dunia berhenti. Dalam sekejap, suhu langit dan bumi berubah, waktu melambat, dan seluruh alam semesta seperti menahan nafasnya.
Tujuh Utusan Langit telah tiba.
Mereka bukan dewa, bukan manusia, dan bahkan bukan roh. Mereka adalah kehendak murni langit yang diikat dalam bentuk—tujuh entitas tanpa belas kasih, yang hanya mengenal satu hukum:
> "Apa yang melawan langit… akan dihapus dari keberadaan."
Jin Tian Mu jatuh berlutut, tubuhnya tak lagi mampu menahan tekanan dunia terbalik. Tapi di tengah medan yang runtuh, Hu Tian Ji berdiri tegak, jubah compang-campingnya berkibar ditiup kekuatan dunia.
Tatapannya masih sama—dingin, sunyi.
Salah satu Utusan, sosok wanita dengan rambut menjuntai bagai kabut malam, membuka mulutnya tanpa suara. Namun suara itu menggema langsung ke dalam jiwa semua makhluk yang hadir:
> "Hu Tian Ji. Kamu telah melanggar siklus. Melawan kodrat. Membuka Segel Dunia Bawah. Menolak reinkarnasi. Mewarisi Mantra Terlarang."
Ia melangkah maju.
Setiap jejaknya membuat tanah meleleh dan langit berubah warna.
> "Kami datang bukan untuk memperingatkan. Kami datang untuk menghapus."
Hu Tian Ji tidak bergerak.
Namun dari tanah tempatnya berdiri, tulang-tulang raksasa muncul, melingkar dan membentuk perisai kuno.
Itu adalah Perisai Jiwa Leluhur, pusaka dari zaman sebelum hukum surgawi ditetapkan. Di atasnya, terukir satu kalimat: "Kehendak bukan milik langit."
> "Tujuh Utusan," suara Hu Tian Ji akhirnya terdengar, pelan namun menggema,
"Jika kalian datang untuk menghapusku, pastikan kalian siap kehilangan nama kalian dari sejarah."
Salah satu Utusan tertawa—bukan dengan suara, tapi dengan retakan realitas.
Dan begitu saja, pertempuran dimulai.
Utusan pertama menyerang dengan waktu itu sendiri. Detik menjadi pedang, menit menjadi tombak. Namun Hu Tian Ji menekuk waktu, menciptakan ruang di luar waktu, dan menyerang balik dengan bayangan masa lalu yang belum pernah terjadi.
Utusan kedua menyulut langit dengan api keabadian, namun Hu Tian Ji membungkus dunia dalam malam abadi—dimana api tidak bisa menyala.
Utusan ketiga memanggil hukum gravitasi dari lima dunia, menjatuhkan gunung dan bintang sekaligus ke arahnya, tapi Tian Ji merobek ruang dan mengubah beban menjadi kekosongan.
Darah hitam memercik. Tapi itu bukan darah Hu Tian Ji.
Dua dari Utusan… jatuh.
Yang lainnya mulai ragu. Mereka tidak mengerti.
> "Kau hanya manusia," ucap salah satu dengan suara tak stabil.
"Bagaimana bisa kau… melawan langit… dan menang?"
Hu Tian Ji hanya menatap mereka.
Dari matanya, kilatan aneh muncul—bukan kegilaan, tapi keyakinan yang sudah tidak mengenal batas.
> "Karena aku tidak lagi membawa kehendakku sendiri."
"Aku membawa dendam dari dunia yang dilupakan… dan suara dari mereka yang mati tanpa sempat melawan."
Ia mengangkat tangan.
Gulungan hitam terbuka penuh.
Mantra terakhir pun terucap—bukan dengan kata-kata, tapi dengan kehendak murni.
Dalam sekejap, seluruh langit Luoying tumbang.
Para kultivator yang menyaksikan dari jauh hanya bisa menunduk, tangan bergetar, jiwa mereka goyah oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh hukum atau doktrin mana pun.
Hari itu, dunia tidak berubah.
Dunia dibalik.