Cherreads

Chapter 10 - Bab 10 — Kabut yang Menyimpan Nama

Angin lembah berembus pelan, membawa serpihan abu dan darah kering yang menari di udara. Di atas sebuah batu datar yang menghadap jurang terjal, Ye Tian duduk dalam diam. Matanya memandang jauh ke depan, namun pikirannya tenggelam jauh ke masa lalu.

Langit di atasnya tampak kelabu—bukan karena mendung, tapi karena sisa kehendak langit yang terguncang oleh bangkitnya kutukan darah langit.

Tangan Ye Tian sedikit bergetar, bukan karena luka, tapi karena api spiritual di dalam tubuhnya terus bergejolak, mencoba menyatu dengan Simbol Darah Nirwana yang bersinar samar di punggungnya. Kutukan itu kini tidak lagi bersembunyi... tapi perlahan menyatu dengan jiwanya.

> "Dunia ini tak pernah memberi tempat bagi mereka yang berbeda... tapi akulah dunia yang akan mereka takuti," pikirnya dalam hati.

Tiba-tiba, di tengah kabut tipis yang menyelimuti lembah, terdengar suara langkah. Lembut... tapi mantap. Bukan langkah musuh yang datang mengendap, tapi seseorang yang datang dengan keyakinan dan tanpa rasa takut.

Ye Tian tak perlu menoleh. Aura itu tidak asing.

"Ye Tian..." Sebuah suara datar memecah keheningan. "Pewaris kutukan yang menggegerkan langit."

Dari balik kabut, muncul sosok pemuda berjubah cokelat kusam, wajahnya dingin dengan luka sayatan lama di pelipis kirinya. Di punggungnya tergantung sebuah pedang panjang bersarung biru tua—bernama Qinghua, pusaka warisan Sekte Pedang Bintang Utara yang telah lama ditinggalkannya.

Ye Tian menjawab tanpa menatap, "Li Fan. Murid buangan dari Utara yang tak pernah tunduk pada kehendak langit."

Li Fan menyunggingkan senyum samar, lalu duduk bersila beberapa langkah darinya. Angin berhembus pelan, mengibarkan jubah keduanya. Tak ada ketegangan... hanya keheningan yang terasa lebih tajam daripada pedang.

> "Aku melihat kehancuranmu di langit malam tadi," ucap Li Fan. "Roh-roh menangis. Kabut bergerak melawan arah angin. Mereka bilang darah langit telah bangkit... dan kutukan lama akan menghancurkan keseimbangan tujuh alam."

Ye Tian mengangguk pelan. "Aku tidak membangkitkan kutukan ini. Aku hanya mewarisinya... dan dunia memaksaku untuk memilih antara tunduk atau menghancurkan."

Li Fan menatapnya lekat. "Kalau begitu, mungkin... aku bisa membantumu menghancurkan dunia itu. Sampai nanti... saat kita bertarung."

Dalam sekejap, dua sosok itu duduk dalam diam. Tapi dalam diam itu, dua kutukan, dua kekuatan, dan dua masa depan beradu pandang di tempat yang sama.

Langit di atas mereka mulai membuka, dan kabut yang menggantung seperti tirai perlahan tersingkap. Dari arah timur, aura kuat muncul — bukan satu, tapi lima kekuatan besar, masing-masing membawa lambang sekte kuno yang telah lama menghilang dari peta kekuatan dunia:

Klan Jiwa Salju Timur

Paguyuban Mata Langit

Aliansi Belati Hitam

Sekte Pedang Kuno Selatan

...dan Gerbang Kehampaan Tak Bernama

Ye Tian berdiri.

> "Pertunjukan telah dimulai."

Dan di antara bayangan-bayangan baru yang datang... ada satu sosok misterius yang menyebutkan namanya dalam bisikan.

> "Ye Tian... darahmu bukan milikmu sendiri. Itu milik kami semua."

Kabut yang menyelimuti lembah mulai menipis. Namun bukan karena angin… melainkan karena tekanan spiritual dari lima kekuatan besar yang kini perlahan mendekat. Langkah kaki mereka tak terdengar, namun aura yang mereka bawa cukup untuk menekan langit dan membuat tanah bergetar pelan.

Ye Tian berdiri diam. Di belakangnya, Li Fan juga bangkit, jemarinya menyentuh gagang pedang Qinghua. Tak satu pun dari mereka berkata-kata. Mereka tahu — siapa pun yang muncul dari balik kabut kali ini, bukan datang untuk berdamai... melainkan untuk menilai, mengintai, atau membunuh.

Siluet pertama muncul — seorang wanita muda dengan gaun biru mengilap yang bergelombang seperti air. Di belakangnya, enam kristal berbentuk kelopak bunga mengambang, berputar pelan seperti kelopak es yang tak bisa mencair. Ia adalah perwakilan dari Klan Jiwa Salju Timur, pemilik Teknik Ilusi Embun Abadi yang bisa menyesatkan roh dan membekukan darah dalam hitungan detik.

> "Begitu dingin…" bisik Li Fan, setengah kagum, setengah waspada.

Yang kedua datang seperti bayangan. Tak ada suara. Hanya muncul begitu saja — sosok berjubah hitam, mengenakan topeng bermata tunggal yang terus berputar perlahan. Ia tidak bicara. Tapi mata yang terpancar dari topeng itu memancarkan kekuatan spiritual langit. Dia adalah penilik dari Paguyuban Mata Langit, sekte yang dikenal dapat membaca takdir seseorang hanya dengan menatapnya sekali.

Disusul dua sosok kembar — laki-laki dan perempuan — dengan pakaian kulit hitam, membawa belati di kedua tangan, dan senyum yang tak pernah menyentuh mata. Mereka milik Aliansi Belati Hitam, kelompok pembunuh bayaran yang hanya bergerak untuk "pembayaran karmika", bukan uang, bukan nyawa… tapi rahasia terdalam milik korbannya.

Kelima, muncullah seorang pria tua dengan rambut putih panjang, jubah kuning emas, dan pedang besar terbungkus kain merah tua di punggungnya. Matanya terbuka lebar, namun tak memiliki bola mata. Di setiap langkahnya, bumi mengalun seperti gema. Dia berasal dari Sekte Pedang Kuno Selatan, pengembara buta yang pernah menebas gunung dengan satu ayunan.

Mereka semua berhenti dalam lingkaran mengelilingi Ye Tian dan Li Fan.

Tak satu pun dari mereka bicara—hingga suara keenam, yang tak berasal dari tubuh mana pun, muncul seperti bisikan langsung di kepala mereka semua:

> "Kalian semua datang... hanya untuk melihat apa yang tak pernah kalian pahami."

Seketika, kabut di tengah lingkaran meledak—dan dari balik kabut itu, muncul sosok bertudung yang tak memiliki wajah. Ia tidak memiliki bentuk yang jelas, tapi bayangannya menancap di tanah. Di dadanya, terdapat simbol yang membuat dada Ye Tian berdenyut: simbol kutukan darah langit, namun dalam versi terbalik.

> "Kau… siapa?" tanya Ye Tian, matanya menyipit.

> "Aku adalah... apa yang akan terjadi padamu jika kau gagal."

Suara itu tak berat, namun menusuk.

> "Namaku telah dihapus dari sejarah, tapi darahku sama seperti milikmu. Aku pernah melawan... tapi aku gagal. Sekarang, kau—Ye Tian—berdiri di tempat aku pernah jatuh."

Seketika langit mengguntur.

Para pemimpin lima kekuatan besar saling menatap. Bahkan Li Fan pun memajukan satu langkah.

> "Apa maksudnya?"

Sosok itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah dada Ye Tian.

> "Di dalam darahmu, tersegel warisan terakhir yang belum dibuka. Saat waktu itu tiba, seluruh tujuh alam akan mengguncang. Tapi sebelum itu..."

> "...kau harus memilih. Akankah kau menjadi pembawa kehancuran… atau pemusnah takdir?"

Seketika, kabut meledak dan sosok itu lenyap.

Ye Tian berdiri kaku.

Li Fan bergumam pelan, "Satu warisan… dua jalan..."

Sementara itu, dari kejauhan, roh-roh kembali berbisik. Bukan pada Ye Tian kali ini, tapi pada lima kekuatan besar:

> "Yang kalian cari... bukan dia. Tapi apa yang tertanam di dalamnya."

Kabut perlahan menghilang, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Tak ada lagi bayangan misterius bertudung. Hanya tanah yang terdiam, langit yang masih mendung, dan enam sosok yang kini berdiri dalam satu medan yang sama—tanpa ikatan, tanpa aliansi, tapi juga tanpa permusuhan terbuka.

Ye Tian berdiri di tengah. Tapi kali ini, bukan sebagai korban kutukan… melainkan pusat perhatian dunia.

Li Fan melirik ke sekeliling. Meski tak sepatah kata pun terucap, tekanan yang mengalir dari kelima sekte sudah mulai saling bersinggungan. Aura-aura tingkat tinggi bersilang, menciptakan denyutan samar di udara—pertanda bahwa tak ada yang benar-benar percaya satu sama lain.

Perwakilan Klan Jiwa Salju Timur melangkah maju. Suaranya lembut, tapi penuh tekanan spiritual.

> "Ye Tian… roh kutukan yang kau bangkitkan tadi bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Aku ingin tahu... apa yang sebenarnya kau sembunyikan dalam darahmu."

Ye Tian menjawab dengan nada tenang, nyaris dingin.

> "Apa yang tersembunyi… bukan sesuatu yang bisa dipahami oleh mereka yang hanya melihat dengan mata."

Pemilik Paguyuban Mata Langit mengangkat satu jari. Mata tunggal di topengnya berputar cepat, hingga memunculkan lingkaran cahaya keunguan yang menembus ruang dan waktu.

> "Aku bisa membaca masa depan… tapi masa depanmu adalah kabut. Kau bukan cabang dari pohon takdir… kau adalah racunnya."

Ye Tian menyipitkan mata, tapi tetap diam.

Lalu, si kembar dari Aliansi Belati Hitam terkekeh pelan. Si perempuan berkata, "Kalau benar kau ancaman… bukankah lebih baik kami menghabisimu sekarang, sebelum sesuatu yang lebih buruk keluar dari tubuhmu?"

Tapi sebelum ada yang bergerak, suara serak dari lelaki buta Sekte Pedang Kuno memotong:

> "Tidak… tidak sekarang. Kutukan ini belum utuh. Apa pun yang dia warisi... masih tersegel. Membunuhnya sekarang hanya akan menyebarkan warisannya ke udara. Dan kalian semua tahu… apa artinya itu."

Ketegangan mereda sedikit. Tapi tatapan mereka belum menjauh dari Ye Tian. Ia menatap mereka satu per satu. Dalam dirinya, ia tahu—mereka semua menginginkan sesuatu darinya. Bukan tubuhnya. Bukan jiwanya. Tapi apa yang tersembunyi jauh di dalam darahnya: segel terakhir dari Darah Langit.

Li Fan mendekat satu langkah ke sisi Ye Tian.

> "Apa pun yang akan terjadi... kurasa waktumu di dunia sunyi telah usai."

Ye Tian hanya menjawab dengan gumaman:

> "Jika mereka ingin mencicipi kutukan ini… maka biarkan mereka meminumnya sampai habis."

Langit bergemuruh pelan. Jauh di dalam tubuhnya, segel darah terakhir mulai retak. Dan dunia takkan lagi sama setelah ini.

Udara terasa berat, seolah langit itu sendiri menahan napas. Setelah kata-kata Ye Tian yang menggema tenang, lima kekuatan besar tetap terdiam—bukan karena takut, tapi karena ragu. Mereka tahu, di hadapan mereka berdiri seorang pemuda… yang bukan lagi manusia biasa. Ia adalah penjaga dari sesuatu yang belum terbangkitkan sepenuhnya. Sesuatu yang bahkan para tetua agung dari zaman kuno pun ingin lupakan.

Namun waktu tak berhenti hanya untuk ketakutan.

Perwakilan Paguyuban Mata Langit perlahan mundur, matanya yang berputar akhirnya berhenti.

> "Aku tidak bisa membaca masa depan anak ini… dan jika masa depan tak bisa dibaca, itu berarti dunia belum siap."

Ia menghilang dalam kilatan ungu, meninggalkan kabut yang mendadak menebal kembali.

Klan Jiwa Salju Timur menarik embun di sekitarnya menjadi bunga es, lalu meletakkannya di tanah.

> "Aku ingin tahu lebih banyak tentang kutukanmu, Ye Tian. Bukan karena ketakutan... tapi karena takdir. Kita akan bertemu lagi di Istana Embun Abadi."

Kemudian dia berjalan pergi, anggun seperti bayangan bulan di danau yang beku.

Satu per satu, perwakilan mulai menghilang. Bahkan si kembar dari Aliansi Belati Hitam pun tidak menyerang. Mereka hanya tertawa pelan dan berkata:

> "Kami lebih suka membunuh target yang pasti mati. Kau masih terlalu hidup, Ye Tian... dan terlalu menarik."

Hanya Li Fan yang tetap tinggal.

Ye Tian menatapnya tanpa kata.

Li Fan tersenyum tipis.

> "Kau tahu, biasanya aku tidak bertahan dalam kekacauan. Tapi kali ini… aku rasa aku akan mengikutimu."

Ye Tian memalingkan pandangan ke langit yang mulai cerah.

> "Aku tidak butuh pengikut."

> "Aku tidak bilang aku akan jadi pengikutmu," balas Li Fan. "Tapi seseorang harus memastikan kau tidak kehilangan dirimu sendiri... sebelum kutukan itu memakan semuanya."

Keduanya berdiri lama dalam diam, sebelum akhirnya langkah kaki mereka mulai meninggalkan lembah. Di belakang mereka, tempat itu tertutup kabut kembali—bukan kabut biasa, tapi kabut spiritual dari dunia yang telah berubah karena satu pertemuan.

Dan jauh di puncak pegunungan roh, seorang tetua berjubah abu-abu membuka mata dari meditasinya. Di hadapannya terbuka gulungan kuno berlapis darah, bertuliskan:

> "Bayangan Abadi: Warisan Darah Langit Tidak Boleh Bangkit."

Mulutnya bergumam lirih…

> "Kutukan itu telah pecah… dan sejarah pun kembali menulis ulang jalannya."

Langkah kaki Ye Tian dan Li Fan menggema di celah bebatuan. Lembah yang mereka tinggalkan sudah tak sama—udara di sana kini penuh bekas aura kekuatan tingkat tinggi, dan langitnya tampak lebih gelap, seolah enggan melupakan apa yang telah terjadi.

Tak satu pun dari mereka bicara. Tapi dalam diam itu, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri.

Li Fan melirik Ye Tian.

> "Aku tak mengira kau bisa menahan tekanan dari lima kekuatan besar tanpa mengangkat satu jari pun."

Ye Tian tetap berjalan tanpa menoleh. Tapi suaranya, meski pelan, menggetarkan udara:

> "Mereka tidak datang untuk bertarung. Mereka datang untuk memastikan… bahwa aku belum menjadi ancaman."

> "Dan kau?" Li Fan bertanya lagi. "Kau merasa ancaman itu… sudah tumbuh dalam dirimu?"

Ye Tian berhenti sejenak, memandang ke langit yang memucat.

> "Aku tidak tahu apakah aku adalah kutukan… atau harapan terakhir dunia ini. Tapi yang pasti—aku bukan lagi hanya diriku sendiri."

Kilatan samar muncul di matanya. Dalam penglihatan batinnya, segel darah langit mulai meretakkan lingkaran kedua—dari tujuh total lapisan.

> Dua segel telah retak… lima tersisa.

> Dan setiap segel yang pecah, akan membawa satu bencana ke dunia fana.

Mereka akhirnya tiba di sebuah puncak curam, di mana reruntuhan kuno menyambut mereka. Pilar-pilar batu menjulang seperti taring raksasa, dan lambang-lambang yang tak lagi terbaca terukir dalam reruntuhan. Tempat ini… adalah Gerbang Pertama Warisan Kutukan, yang tertulis dalam ingatan darah Ye Tian.

> "Tempat ini..." Li Fan menatap sekeliling dengan waspada. "Bukan tempat biasa, kan?"

> "Bukan," jawab Ye Tian pelan. "Tempat ini... adalah awal dari semuanya."

Tiba-tiba, angin berhenti.

Udara membeku.

Dan di tengah reruntuhan, muncul cahaya samar merah darah yang terikat dalam pola formasi sihir kuno. Saat Ye Tian melangkah masuk, simbol di lantai menyala, dan suara berat terdengar dari dalam tanah:

> "Pewaris darah… sambutlah ujian pertama."

Li Fan langsung memegang gagang pedangnya.

> "Apa itu?!"

Ye Tian hanya berkata satu hal…

> "Langkah pertama untuk membuka warisan... adalah bertarung melawan diriku sendiri."

Dari bayangan yang dilemparkan cahaya simbol, muncullah sosok identik dengan Ye Tian. Namun matanya menyala merah pekat, dan aura yang dipancarkannya… bukan aura manusia, tapi entitas kutukan murni.

Ye Tian menghadapinya dengan wajah tanpa emosi.

> "Mari kita lihat… apakah aku benar-benar bisa mengalahkan diriku yang lama."

---

More Chapters