Sebelum tidur, Urip membuka ponselnya dan mencoba video call Rachel. Nada sambung terdengar beberapa kali, tapi tak diangkat. Ia menunggu sejenak, menatap layar dengan perasaan yang campur aduk—antara rindu, penasaran, dan sedikit cemas.
Akhirnya ia mengetik pesan,
"Aku udah di Seoul lagi. Kalau sempat, besok ketemu di kampus ya."
Pesan terkirim.
Tapi hanya satu centang.
Urip mengernyit. Ia menatap layar cukup lama, seolah dengan menatap lebih lama bisa membuat pesan itu berubah status. Tapi tetap satu centang. Tidak ada "terkirim ke perangkat", apalagi "terbaca".
"Ada apa ini?" pikirnya.
Apakah Rachel mematikan HP? Apakah dia sedang di luar jaringan? Atau... sedang menjauh?
Pikiran Urip mulai liar. Apakah Rachel marah karena ia tiba-tiba pergi ke Jakarta tanpa memberi tahu secara langsung? Ataukah... ada sesuatu yang terjadi selama ia pergi?
Ia menaruh ponsel di meja samping tempat tidur, menghela napas berat. Lalu memandangi langit-langit kamar yang gelap.
Dan di tengah keheningan itu, suara Gaby pun tak muncul.
Hanya sunyi.
Dan satu centang.
—
Besok paginya, Urip kembali menjalani rutinitas sebagai Lim Gabriel—residen muda di rumah sakit besar Seoul. Jas putih terpasang rapi, wajahnya tenang, nyaris seperti tidak ada yang terjadi beberapa hari terakhir. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya masih melayang-layang: Rachel yang tak merespons, Siska yang diam soal masa lalu, dan Gaby… yang masih silent mode sejak mereka kembali ke Korea.
Di nurse station, Urip duduk sambil membaca catatan medis dan menunggu panggilan visit berikutnya. Hiruk-pikuk rumah sakit pagi itu terasa biasa saja… sampai suara sirene ambulans terdengar mendekat dari lorong gawat darurat.
Seorang perawat berlari kecil ke nurse station. "Dokter Lim, satu kasus darurat masuk. Perempuan, korban perkosaan. Trauma berat, kemungkinan internal bleeding."
Urip langsung bangkit.
Beberapa petugas medis mendorong brankar dengan seorang perempuan muda di atasnya. Tubuhnya lemah, wajahnya lebam, pakaiannya robek dan berlumuran darah. Luka-luka di tubuhnya menunjukkan bahwa ini bukan hanya sekadar tindak kekerasan, tapi penyiksaan. Salah satu perawat pria yang ikut mendampingi tampak pucat—bahkan untuk orang medis, ini termasuk kasus brutal.
Urip menelan ludah. Sekilas, wajah korban terlihat seperti... bisa jadi siapa saja—teman, saudara, pasien biasa. Dia memaksakan diri untuk tetap tenang. "Masukkan ke ruang observasi. Order full trauma panel, cek hemoglobin dan laju perdarahan. Siapkan OR kalau perlu."
"Yes, Dok."
Di dalam kepalanya, masih tak ada suara dari Gaby.
—
Saat korban dibawa masuk ke ruang observasi, suasana mendadak terasa lebih sunyi dan terfokus. Urip—dalam tubuh Gaby—berdiri di sisi tempat tidur sambil mencatat tanda-tanda vital yang dibacakan suster. Tak lama, seorang dokter perempuan masuk dengan langkah cepat namun tenang.
Namanya Dr. Han Eun-joo, konsultan senior bagian bedah dan trauma, dikenal dengan pendekatan yang tegas tapi penuh empati, terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
"Dr. Lim," sapa Dr. Han sambil melepas sarung tangannya sebentar untuk melihat wajah korban lebih dekat. "Terima kasih sudah langsung tanggap. Korban sudah sempat sadar?"
"Sempat membuka mata sebentar. Disorientasi, tidak mampu bicara jelas," jawab Urip.
Dr. Han mengangguk dan menatap seluruh tim. "Kita ikuti protokol untuk sexual assault case. Tim ginekologi dan forensik akan segera ke sini. Pastikan semua tindakan medis direkam dan didokumentasikan dengan baik, tanpa menyentuh area sensitif sampai tim forensik tiba."
Seorang suster wanita menambahkan, "Bajunya sudah kami lepaskan dengan gunting sesuai SOP. Ditaruh di kantong bukti."
Urip melihat kemungkinan: bagaimana jika ini terjadi pada Rachel? Seperti pada Siska dulu, saat ia tak ada?
"Dok," suster bertanya, "perlu kami panggilkan pendamping psikolog juga?"
Dr. Han mengangguk. "Segera. Dan satu hal lagi—tolong pastikan korban dijaga oleh suster perempuan saja. Tidak ada petugas laki-laki masuk tanpa izin saya."
Semua mengangguk.
Urip menunduk, menulis perintah di chart pasien. Tapi tangannya sempat berhenti. Ia mendengar suara lirih, sangat pelan, dari dalam kepalanya. Suara yang sudah lama diam.
"Kalau dulu… Siska juga diselamatkan secepat ini… mungkin hidupnya tidak seberat itu. Maafkan aku, Siska."
Gaby akhirnya bicara. Pelan, namun penuh rasa bersalah.
—
Urip menegakkan tubuhnya, menatap Dr. Han dengan penuh kesungguhan. "Dok, saya boleh ikut menangani? Saya ingin belajar… terutama dari kasus seperti ini."
Dr. Han berhenti sejenak, menatapnya lurus dengan sorot mata yang tajam namun tidak menghakimi. "Boleh," ujarnya akhirnya. "Tapi ingat, ini bukan prosedur biasa. Ini soal trauma, bukan cuma luka fisik. Kalau pasien menunjukkan ketidaknyamanan atau menolak kehadiranmu, kamu harus mundur. Paham?"
"Paham, Dok," jawab Urip mantap.
Dr. Han mengangguk dan melangkah menuju tempat tidur pasien, yang kini dikelilingi oleh tirai medis untuk menjaga privasi. Ia memanggil salah satu suster. "Tolong tanya ke pasien—kalau dia sadar sebentar—apakah dia bersedia dokter laki-laki mendampingi."
Suster itu mengangguk, lalu masuk ke balik tirai.
Urip berdiri di luar, menunggu. Di balik tirai, terdengar suara suster yang lembut dan sabar, menjelaskan pada korban dengan bahasa yang hati-hati.
Beberapa saat kemudian, suster keluar. "Pasien tidak menjawab, tapi dia tidak menunjukkan reaksi penolakan. Jadi sementara bisa mendampingi, Dok."
Dr. Han memberi isyarat. "Baik. Gaby, kamu berdiri di sini saja. Catat semua langkah yang kami lakukan. Jangan menyentuh apa pun kecuali diinstruksikan. Fokuskan perhatian pada prosedur, bukan rasa kasihan. Korban tidak butuh dikasihani—dia butuh kita profesional."
Urip mengangguk.
Di balik tirai itu, ia menyaksikan sesuatu yang lebih dari tindakan medis: ia menyaksikan kelembutan dalam ketegasan, empati dalam ketepatan. Setiap alat, setiap langkah, disiapkan dengan protokol ketat, namun hati-hati agar tidak menambah luka baru.
—
Setelah lebih dari dua jam berlalu, kondisi pasien korban kekerasan itu mulai stabil. Nafasnya lebih teratur, tekanan darahnya perlahan membaik. Tim medis mulai mencatat hasil sementara dan merapikan alat bantu yang sudah tak diperlukan.
Urip berdiri di sudut ruang tindakan, masih dalam balutan jas dokter, meski shiftnya sudah selesai sejak setengah jam lalu. Tapi hatinya enggan meninggalkan ruangan itu. Ada sesuatu yang menahan. Entah itu tanggung jawab... atau rasa tidak tega.
Ia akhirnya melangkah pelan keluar dari ruangan, mengambil napas panjang. Saat duduk kembali di nurse station, ia membuka ponselnya. Chat ke Rachel masih centang satu. Dikirim semalam, belum juga terbaca.
Wajahnya mengerut. Ia membuka kontak, lalu menekan tombol panggil untuk seseorang yang jarang ia hubungi langsung.
Nada sambung terdengar. Beberapa detik kemudian terdengar suara hangat tapi penuh tanya.
"Halo?"
"Tante, ini saya, Gaby…" suara Urip pelan tapi tegas. "Maaf ganggu. Saya... semalam coba hubungi Rachel, tapi nggak diangkat. Saya kirim pesan juga, belum terbaca. Rachel baik-baik saja, kan?"
Di ujung telepon, terdengar suara napas tertahan. "Oh... Gaby." Suara Tante seperti berusaha tenang. "Rachel... dia lagi butuh waktu. Dia sedang nggak pegang HP, tapi dia baik-baik saja secara fisik. Maaf ya, Nak, kalau bikin kamu khawatir."
Urip terdiam. Tapi dari nada itu, dia tahu: tidak semuanya baik-baik saja.
"Kalau gitu... saya doakan Rachel cepat membaik, Tante. Tolong bilang ke dia, saya ada di sini kalau dia butuh teman bicara. Kapan pun."
"Iya, Nak. Terima kasih ya... Kamu anak baik."
Telepon terputus. Urip menatap layar kosong. Dalam hati, ia bergumam pelan:
"Rachel... apa yang sedang kamu hadapi sendirian?"