Angin mengamuk seperti dewa yang murka saat tubuh Bhirendra dan Reina tersedot ke pusaran udara yang ditarik ke dalam paruh Jagrasa. Tapi Bhirendra, dengan segenap tenaga yang ia miliki, tetap merengkuh tubuh Reina seerat mungkin dalam dekapannya. Ia seolah tak peduli pada luka yang mendera, tak gentar oleh maut yang siap melahapnya. Yang penting baginya, Reina tetap disisi, tidak terlepas dan tidak hilang lagi darinya.
Saat pusaran kekuatan kegelapan di dalam makhluk itu hampir melumat mereka, Prabawa Samayoga bersinar di genggamannya, memanggil esensi kuno dari jiwa Ksatria Pelindung Swantara. Dengan segenap kehendak, Bhirendra menancapkan pedang itu tepat ke dasar lidah Jagrasa. Darah hitam dan uap busuk menyembur, namun itu belum cukup.
Dengan sorot mata menyala dan mantera di ujung lidahnya, ia memutar pedangnya, menghancurkan jaringan organ dalam makhluk itu. Mantra penghancur jiwa merambat dari bilah Prabawa Samayoga, mencabik energi kegelapan Jagrasa dari dalam. Jeritan makhluk itu mengguncang udara, menggetarkan langit yang terbelah oleh kilatan petir Prabawa Samayoga.
Jagrasa, kehilangan kendali, memuntahkan tubuh mereka dari dalam perutnya, melontarkan Bhirendra dan Reina ke tanah keras di hadapan Gerbang Petaka.
Suara hantaman terdengar nyaring dan memberikan efek pekak di telinga. Reina dan Bhirendra terlontar bersamaan hingga tanah dibawah mereka retak seperti kaca yang hampir pecah. Gelombang debu hitam menggulung diudara. Reina meringis dan Bhirendra tetap mendekapnya sebagai perisai. Jagrasa jatuh di belakang mereka, meronta sebelum akhirnya diam, lalu menghilang perlahan menjadi butiran kabut kehijauan yang menyebar seperti roh yang terbebas.
Keheningan meliputi mereka. Reina terdiam ketika degup jantung Bhirendra terdengar cepat. Pria itu, yang masih memancarkan kewaspadaan, perlahan melepaskan rengkuhannya, bangkit dengan tubuh tertatih, dan darah yang mengalir dari luka-luka di tangannya.
Tetapi bukan itu yang kini menjadi prioritasnya. Keselamatan sang Arunika-lah yang benar-benar menyita pikiran dan emosinya.
"Kau terluka?" tanya Bhirendra seraya mendekat, membantu Reina berdiri perlahan. Sorot matanya menelisik setiap inci tubuh gadis itu dengan perasaan cemas, seakan-akan memastikan tak ada luka yang serius di sana.
Tapi, justru Reina-lah yang menarik tangannya dan merapalkan mantera penyembuh. Sinar hangat mengalir dari telapak tangan gadis itu dan menjalar ke luka-luka Bhirendra yang perlahan menutup.
Bhirendra mengulas senyum tipis, senyum yang menyiratkan syukur, namun juga penyesalan yang belum tuntas. Luka itu, bagaimanapun, telah membawa mereka kembali ke titik yang lebih jujur.
"Aku merasakan sesuatu. Semacam getaran dari artefak itu," ujar Reina lirih.
Mereka berdiri tegak, tepat di hadapan Gerbang Petaka yang merupakan sebuah pintu raksasa berwarna abu tua, tertutup oleh akar-akar hidup yang berdenyut perlahan, seolah menjadi nadi dari sesuatu yang terkubur jauh di bawah jagad Swantara. Aksara-aksara purba terukir di permukaannya—bahasa tua yang bahkan tidak dikenal oleh Bhirendra.
Perlahan, tangan Reina terulur. Jarinya menyentuh salah satu aksara, dan seketika, cahaya menyilaukan meledak keluar.
"Reina!" pekik Bhirendra, bergerak cepat dan mencoba meraih tubuh gadis itu, namun semuanya terlambat. Reina lenyap dalam semburat cahaya putih yang menyilaukan.
Dan semuanya lenyap.
Kini, Reina berdiri sendirian. Di sebuah tempat yang luas, terlihat berbeda dan itu bukan dunia yang ia kenal. Kabut gelap merayap dari segala arah, menutup pandangan dan sekitarnya. Tanah di bawahnya tampak seperti debu hitam yang tak berujung. Udara berat memenuhi rongga pernapasannya, seolah tengah menghirup rasa yang menyesakkan dadanya.
"Bhirendra?" panggil Reina. Suaranya menggema, tak dijawab. "Di mana kamu?"
Hening. Tak ada jawaban. Lalu bumi bergetar. Kabut terbelah. Sebuah siluet perlahan muncul dari balik tirai kegelapan.
Raksasa itu berdiri, menjulang setinggi puluhan meter. Wisesa Dirgha, yang Reina ketahui sebagai makhluk mitologis, penjaga artefak Salaka Dirgha—tombak suci pelindung batas dimensi.
Tubuhnya menyala oleh api biru kehijauan, bukan seperti api biasa, melainkan api yang lahir dari trauma dan amarah purba. Tiga matanya menatap Reina, masing-masing bersinar dengan cahaya yang berbeda—satu menyelami masa lalu, satu masa kini, dan satu lagi menembus masa depan.
Suara berat dan serak menyembur dari dalam dadanya, bergema seperti langit yang menahan badai. "Kau yang datang tanpa wajah... Siapkah kau menatap ketakutanmu sendiri?"
Reina menegakkan tubuhnya dan mengangkat tangan kirinya. Cincin Cakra Adhiwara berpendar saat mantra perlindungan ia rapalkan, membentuk kubah cahaya samar kehijauan di sekeliling tubuhnya. Hatinya menegang, napasnya tertahan. Ia tak tahu apa yang akan datang, tapi ia tahu ia tidak bisa mundur.
Wisesa Dirgha tertawa, dalam dan berat. Seperti suara tanah yang retak dan tenggelam dalam lubang hitam tak berdasar. Setiap gelombang suaranya terasa seperti mengguncang keberanian dalam diri Reina
"Wahai serpihan jiwa purba yang terpisah…" ucapnya, suaranya menggema dari segala arah, seakan menyatu dengan kabut itu sendiri. "Kau ingin menyerangku dengan kemampuan yang bahkan belum utuh?"
Reina diam. Matanya menajam, tapi hatinya ragu. Ia tak menjawab.
Wisesa Dirgha melangkah mendekat, tubuhnya menyala dengan api biru kehijauan yang menjilat-jilat. "Aku bukan musuhmu. Aku adalah penjaga batas dari kekuatan yang nyaris dilupakan oleh dunia. Tugasku bukan melukai, tapi mengungkap. Aku akan menunjukkan padamu apa yang paling dalam dan gelap dalam jiwamu, yang tak bisa kau lawan dengan sihir atau pedang."
Tangannya yang sebesar batu karang terangkat, lalu mengarah ke belakang Reina.
Seketika, ruang di belakangnya seperti robek oleh kekuatan tak kasatmata. Dari sana, Reina melihat sosok Bhirendra, terbaring tanpa daya, mengambang dalam sebuah gelembung transparan yang memantulkan cahaya kehijauan. Seperti ruang hampa, senyap dan beku.
Reina tertegun. Jantungnya berdegup semakin kencang. “Bhira…?” bisiknya dalam getaran suara penuh kecemasan.
Ia melangkah mendekat, tapi setiap langkah terasa semakin berat. Semakin dekat, semakin jelas wajah itu. Mata tertutup. Wajahnya pucat. Tidak terlihat tarikan napas di dada yang kokoh itu. Tidak ada reaksi apa pun.
"Tubuh yang kau lihat itu hanya raganya," ujar Wisesa, suaranya tenang, namun menggetarkan sukma.
"Jiwanya sedang dihantam gelombang luka lama. Kebencian. Rasa bersalah. Penyesalan, dan dendam yang tak pernah selesai."
Reina berdiri di hadapan gelembung itu, tangannya menyentuh permukaannya yang dingin seperti es. “Bhirendra… kenapa?”
Ia berpaling, menatap Wisesa, matanya gemetar oleh emosi yang tak tertata.
"Kau pikir hanya kau yang menanggung luka?" lanjut Wisesa. "Lihatlah dia! Yang dibentuk oleh rasa sakit yang mendarah daging. Terlalu dalam, terlalu lama..."
"Wahai bagian keabadian yang hakiki, sebelum kau bisa menyatukan pecahan kedamaian yang terberai ini, kau harus tahu seperti apa rasa hancur dari harapan yang telah mati. Yang membuat rasa kasih membeku, hilang perlahan dalam tangis sesal tanpa akhir."
Kilatan cahaya biru menyambar langit di atas mereka. Suasana sekeliling memudar menjadi lebih gelap dan pekat. Reina mendekap kedua tangannya di dada. Hatinya berdebar.